Kompleksitas Etika dan Moral Pemimpin di Indonesia: Antara Harapan dan Realitas*Pepatah Tiongkok berbunyi, “Tak ada pesta yang tidak bubar” (mei you bu san di yanxi) yang artinya, segala sesuatu yang berwujud di dunia ini tidaklah kekal termasukKekuasaan. (The Wisdom of Lao Zi)

Nature



Kompleksitas Etika dan Moral Pemimpin di Indonesia: Antara Harapan dan Realitas*Pepatah Tiongkok berbunyi, “Tak ada pesta yang tidak bubar” (mei you bu san di yanxi) yang artinya, segala sesuatu yang berwujud di dunia ini tidaklah kekal termasukKekuasaan. (The Wisdom of Lao Zi)

Rabu, 19 Maret 2025, Maret 19, 2025

Faktaliputan-Jakarta
19 Maret 2025

Artikel:
Lanskap politik Indonesia yang dinamis kembali menghangat, perbincangan mengenai
etika dan moral para pemimpin kembali menjadi sorotan. Isu-isu terkini, mulai dari kasus
korupsi, penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan, hingga kontroversi kebijakan publik,
menimbulkan pertanyaan fundamental: “Sejauh mana pemimpin kita benar-benar berpegang
teguh pada nilai-nilai moral dan etika dalam menjalankan tugasnya?”
Secara normatif, idealnya seorang pemimpin menjadi panutan dalam bertindak dan
mengambil keputusan. 

Namun, kenyataannya situasi politik sering kali mencerminkan
kompleksitas yang jauh lebih rumit. Kepentingan politik, tekanan ekonomi, dan ekspektasi
masyarakat sering kali membuat pemimpin harus berkompromi dengan idealisme yang mereka
junjung. Pada kebijakan tertentu, pemimpin dibenturkan dengan dilema antara keberpihakan
kepada rakyat atau kepentingan kelompok tertentu yang mendukung mereka secara politik.

Kasus-kasus korupsi, menutupi kekuasaan, serta keputusan-keputusan yang lebih
mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan rakyat, merupakan bukti
nyata bahwa ada masalah mendasar dalam integritas kepemimpinan. Negeri ini menghadapi
tantangan besar dalam kepemimpinan yang ditandai dengan defisit moral dan kompleksitas
etika yang semakin nyata. Banyak pemimpin yang secara normatif memahami perihal etika,
namun dalam praktiknya, kepentingan pribadi dan oligarki lebih sering menjadi prioritas
dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Salah satu contoh nyata adalah kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi di republik
ini. Ketika seorang pejabat tertangkap melakukan tindakan yang melanggar hukum, publik
mempertanyakan integritas dan moralitas mereka yang tentunya akan menciptakan
ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintahan. 

Pada beberapa kasus, pejabat akan berusaha
membenarkan tindakan mereka dengan beragam dalih , tetapi masyarakat semakin cerdas
dalam menilai apakah alasan tersebut dapat diterima dengan benar.
Kita sebagai masyarakat mengharapkan pemimpin yang jujur, adil, dan mengutamakan
kepentingan rakyat di atas segalanya. Namun, fenomena politik di republik ini sering kali
menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut dihadapkan pada pragmatisme politik, kepentingan
kelompok, dan bahkan praktik korupsi masih merajalela dan tak surut oleh sanksi yang
diberikan.

Kasus-kasus terbaru yang melibatkan pejabat tinggi dalam dugaan korupsi, konflik
otoritas, atau konflik kepentingan semakin mempertegas bahwa etika sering kali dikorbankan
demi kepentingan politik dan ekonomi. Banyak pemimpin yang pada awalnya tampak bersih
dan berintegritas, namun pada akhirnya terseret dalam kompromi moral yang disepakati. Di
sisi lain, kompleksitas etika tidak hanya terjadi pada pemimpin, tetapi juga pada masyarakat
yang memilih dan mendukung mereka. 

Sikap permisif terhadap pelanggaran moral dengan
alasan “yang penting kerja nyata” menunjukkan masalah etika bukan hanya soal individu,
tetapi juga soal budaya politik kita.
Kita sebagai rakyat perlu lebih kritis dalam memilih pemimpin dengan melihat rekam
jejak dan komitmennya terhadap nilai-nilai moral serta etika yang kuat. Pemimpin yang baik
selain mampu memimpin dengan kebijakan yang efektif, juga menjadi contoh dalam
menjunjung tinggi integritas dan moralitas dalam setiap langkahnya.

Selain itu, sikap pemimpin dalam merespons kritik dan perbedaan pendapat juga
menjadi indikator penting dari standar etika. Ketika pemimpin menggunakan kekuasaan untuk
membungkam suara-suara yang berseberangan, maka nilai demokrasi dan kebebasan
berpendapat yang menjadi fondasi negara ini ikut cedera dan tergerus. Di sisi lain, pemimpin
yang terbuka terhadap kritik dan mampu merespons dengan kebijakan yang lebih inklusif akan
lebih dihormati oleh masyarakat.
Di tengah isu-isu yang liar tersebut, menjadi tugas kita semua untuk tetap mengawal
etika kepemimpinan dan memastikan bahwa mereka yang berada di tampuk kekuasaan telah
menjalankan amanah rakyat dengan sebaik-baiknya. 

Indonesia membutuhkan pemimpin yang
tidak hanya cerdas dan berwawasan luas, tetapi juga memiliki moralitas dan etika yang tak
tergoyahkan. 

Penulis:
• drg Erni Susanty Tahir, MH/ Dosen di Universitas Duta Bangsa Surakarta/ Stafsus
Bidang Kedokteran di Wawasan Hukum Nusantara/ Mahasiswa aktif di Legium
Law Master Asean University International Malaysia

Faktaliputan-Jakarta
Redaksi

TerPopuler