![]() |
Ilustrasi Istimewa |
“Ilmu
Pengetahuan sebagai Pilar Kewaspadaan dan Kesabaran dalam Menyikapi Dinamika
Sosial”
Pakar Manajemen, Maritim dan Etika Kepemimpinan Nasional
(Penulis, Dosen, dan Praktisi Senior di Bidang Strategis)
Brunei Darussalam -
Di tengah riuhnya kehidupan modern yang diliputi derasnya arus informasi,
masyarakat Indonesia sedang menjalani masa yang menantang. Setiap hari, kita
disuguhi berbagai berita yang datang silih berganti, mulai dari isu ekonomi,
politik, hingga sosial. Tidak sedikit dari informasi tersebut menyudutkan
pemerintah, menggiring opini publik ke arah ketidakpercayaan dan bahkan
ketegangan sosial.
Fenomena ini menjadi tanda penting
bahwa masyarakat kita membutuhkan lebih dari sekadar akses informasi. Yang
lebih mendasar dan mendesak adalah kebutuhan akan ilmu pengetahuan yang
mencerahkan cara berpikir, membentuk sikap, serta mengarahkan tindakan kita
sebagai warga negara yang bijaksana. Ilmu pengetahuan, dalam konteks ini, bukan
sekadar kumpulan teori dan data, tetapi fondasi moral-intelektual yang menuntun
kita bersikap waspada dan sabar dalam menyikapi apa pun yang terjadi di sekitar
kita.
Membaca
Realitas dengan Ilmu Pengetahuan
Dalam kehidupan sosial, tidak semua
yang tampak di permukaan mencerminkan kebenaran sejati. Apa yang terdengar
keras belum tentu benar, dan apa yang populer belum tentu adil. Di sinilah ilmu
pengetahuan menjadi alat bantu paling efektif untuk membedakan antara realitas
dan persepsi yang dibentuk secara sengaja.
Ilmu pengetahuan memungkinkan
seseorang untuk tidak cepat mengambil kesimpulan. Ia melatih akal untuk
memverifikasi, menimbang sebab-akibat, dan memahami konteks secara menyeluruh.
Dalam dunia yang penuh opini dan persepsi, hanya mereka yang memiliki kedalaman
berpikir ilmiah yang mampu berdiri tenang di tengah badai informasi.
Sikap waspada lahir dari kesadaran
bahwa tidak semua yang disampaikan adalah kebenaran utuh. Ada framing, ada
kepentingan, dan ada kemungkinan manipulasi. Waspada bukan berarti curiga tanpa
dasar, tetapi membentuk semacam rem intelektual agar kita tidak mudah terbakar
oleh emosi atau propaganda.
Kesabaran
sebagai Buah dari Pemahaman Ilmiah
Kesabaran adalah kebajikan yang kerap
dianggap pasif. Namun, dalam ilmu pengetahuan, kesabaran adalah proses aktif
yang lahir dari kesadaran terhadap kompleksitas. Orang yang memahami bagaimana
suatu kebijakan publik dirancang, bagaimana proses hukum berjalan, atau
bagaimana dinamika geopolitik bekerja, akan memahami bahwa tidak ada perubahan
besar yang bisa instan.
Kesabaran juga muncul dari pemahaman
bahwa negara ini terdiri atas banyak elemen yang saling terkait—dari pemerintah
pusat, daerah, institusi hukum, hingga masyarakat sipil. Semua memiliki peran,
tantangan, dan keterbatasannya masing-masing. Maka, bila ada kebijakan yang
tidak ideal, kita dapat menilai secara proporsional, bukan reaktif.
Ilmu pengetahuan membantu kita untuk
sabar, bukan karena menyerah, tetapi karena memahami bahwa segala proses
membutuhkan waktu, kerja sama, dan perbaikan berkelanjutan. Dalam banyak hal,
ilmu pengetahuan mengajarkan bahwa reaksi cepat yang tidak didasari pemahaman
justru memperkeruh keadaan, bukan menyelesaikan masalah.
Membentengi
Diri di Tengah Gelombang Opini
Dalam beberapa bulan terakhir, kita
menyaksikan bagaimana maraknya berita yang cenderung menyudutkan pemerintah.
Sebagian menggunakan data yang tidak lengkap, sebagian lain menggiring opini
tanpa memberikan solusi. Kondisi ini mengarah pada krisis kepercayaan yang
tidak sehat.
Namun, perlu kita sadari bahwa
demokrasi tidak mungkin hidup tanpa kritik, dan pemerintah bukanlah entitas
yang sempurna. Yang menjadi persoalan adalah ketika kritik tersebut disampaikan
tanpa kerangka berpikir ilmiah—tanpa landasan data yang sahih, tanpa melihat
dari berbagai sisi, serta tanpa menawarkan alternatif yang membangun.
Kondisi ini seharusnya tidak direspons
dengan kemarahan atau kepanikan, tetapi dengan kebijaksanaan yang lahir dari
pengetahuan. Kita perlu bertanya, apakah informasi yang kita baca benar-benar
valid? Apakah narasi yang kita dengar memiliki konteks? Dan lebih jauh lagi,
apa motif yang tersembunyi di balik penyajian berita tersebut?
Menjadi masyarakat yang cerdas berarti
tidak langsung percaya pada segala sesuatu yang viral. Kita harus membentuk
kebiasaan untuk melakukan cross-check, membaca dari berbagai sumber,
serta merenung sebelum menyimpulkan. Inilah wujud kewaspadaan yang lahir dari
keilmuan, bukan dari rasa takut.
Pendidikan
dan Pengetahuan sebagai Pilar Bangsa
Bangsa yang besar tidak hanya diukur
dari kekayaan alam atau kekuatan militernya, tetapi juga dari daya berpikir
rakyatnya. Bangsa yang berpikir adalah bangsa yang sulit diprovokasi, tidak
mudah diadu domba, dan mampu menjaga stabilitasnya dalam badai perubahan.
Oleh karena itu, pendidikan dan ilmu
pengetahuan harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Bukan hanya di bangku
sekolah dan perguruan tinggi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap
individu, dari kalangan apa pun, perlu memiliki akses dan kemauan untuk
belajar, membaca, serta berdiskusi dengan pikiran terbuka.
Ilmu pengetahuan membentuk integritas.
Ia mendorong kita untuk jujur dalam berpikir, adil dalam menilai, dan bijak
dalam bertindak. Dalam konteks bernegara, masyarakat yang berilmu tidak akan
mudah terpecah oleh isu sektarian, politik identitas, atau provokasi murahan.
Mereka tahu bahwa menjaga negara bukan
hanya tugas pemerintah, melainkan juga tanggung jawab setiap warga. Dan untuk
bisa menjaganya, kita butuh pengetahuan sebagai senjata utama.
Sikap
Bijak: Antara Kritik dan Empati
Ilmu pengetahuan tidak membungkam
kritik. Justru sebaliknya, ia memberikan dasar dan arah bagi kritik yang sehat.
Dalam konteks pembangunan, kebijakan publik, dan layanan masyarakat, kritik
yang konstruktif sangat dibutuhkan. Namun kritik yang dibangun di atas emosi
semata justru menjerumuskan kita pada konflik horizontal yang tidak produktif.
Sikap ilmiah mengajarkan kita untuk
tidak hanya bertanya “apa yang salah?”, tetapi juga “mengapa bisa salah?” dan
“apa yang bisa diperbaiki?”. Dengan cara berpikir semacam ini, kita tidak
terjebak dalam sikap menyalahkan tanpa arah. Kita justru menjadi bagian dari
solusi, bukan bagian dari masalah.
Lebih dari itu, ilmu pengetahuan juga
menumbuhkan empati. Ketika kita memahami betapa rumitnya menjalankan roda
pemerintahan untuk ratusan juta penduduk, kita akan lebih bisa menghargai
setiap usaha perbaikan yang sedang dijalankan, meski belum sempurna. Sikap ini
bukan membela secara buta, melainkan memahami dari sudut pandang yang lebih
utuh dan adil.
Menjadi
Pilar Kedamaian Sosial
Dalam kehidupan masyarakat yang plural
dan majemuk seperti Indonesia, ilmu pengetahuan berfungsi sebagai penyatu. Ia
melampaui sekat suku, agama, status ekonomi, dan ideologi politik. Orang-orang
berilmu cenderung memiliki horizon berpikir yang luas dan hati yang lapang.
Ketika dunia diwarnai oleh perbedaan
pendapat, konflik kepentingan, dan tekanan ekonomi, orang-orang yang
berpengetahuan akan menjadi penyeimbang. Mereka tidak akan memperkeruh suasana,
tetapi menawarkan ketenangan. Mereka tidak membawa kebingungan, tetapi justru
menghadirkan kejelasan.
Inilah esensi dari ilmu pengetahuan
yang sejati. Ia bukan sekadar alat untuk berdebat atau meraih posisi sosial,
tetapi kekuatan spiritual yang mengarahkan kita pada jalan yang lurus—jalan
akal sehat, keadilan, dan kasih sayang terhadap sesama.
Seruan untuk Bangsa yang Berpikir
Dalam perenungan saya sebagai seorang
akademisi dan praktisi di berbagai bidang strategis, saya melihat bahwa masa
depan bangsa ini sangat tergantung pada kualitas pengetahuan rakyatnya. Bukan
hanya dalam bidang teknologi dan ekonomi, tetapi juga dalam membangun karakter
dan kesadaran sosial.
Ketika kita dihadapkan pada banyak
narasi yang menyudutkan pemerintah, jangan langsung percaya. Gunakan ilmu untuk
menelaah. Gunakan akal untuk memahami. Gunakan hati untuk bersabar. Mari kita
tumbuhkan budaya berpikir sebelum bertindak, meneliti sebelum menilai, dan
berdiskusi sebelum beropini.
Ilmu pengetahuan tidak akan pernah
gagal membimbing manusia menuju kebaikan—asal kita bersedia belajar dan rendah
hati untuk memahami bahwa kebenaran tidak selalu terlihat di permukaan.
Mari kita bangun bangsa ini dengan
akal sehat, dengan ketenangan, dan dengan sikap yang penuh tanggung jawab.
Karena Indonesia bukan milik satu golongan, tetapi milik kita bersama—dan hanya
bisa dijaga dengan ilmu, bukan dengan amarah.
Penulis:
Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, DBA., Ph.D.
Pakar Manajemen, Maritim dan Etika Kepemimpinan Nasional
(Penulis, Dosen, dan Praktisi Senior di Bidang Strategis)
******
Salam Redaksi,.