“Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, Menghimbau Pentingnya Ilmu Pengetahuan sebagai Pilar Kewaspadaan dan Kesabaran dalam Menyikapi Dinamika Sosial”

Nature

“Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, Menghimbau Pentingnya Ilmu Pengetahuan sebagai Pilar Kewaspadaan dan Kesabaran dalam Menyikapi Dinamika Sosial”

Jumat, 13 Juni 2025, Juni 13, 2025

Ilustrasi Istimewa

 


“Ilmu Pengetahuan sebagai Pilar Kewaspadaan dan Kesabaran dalam Menyikapi Dinamika Sosial”


Oleh:  Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, DBA., Ph.D. 

Pakar Manajemen, Maritim dan Etika Kepemimpinan Nasional

(Penulis, Dosen, dan Praktisi Senior di Bidang Strategis)

 

Brunei Darussalam - Di tengah riuhnya kehidupan modern yang diliputi derasnya arus informasi, masyarakat Indonesia sedang menjalani masa yang menantang. Setiap hari, kita disuguhi berbagai berita yang datang silih berganti, mulai dari isu ekonomi, politik, hingga sosial. Tidak sedikit dari informasi tersebut menyudutkan pemerintah, menggiring opini publik ke arah ketidakpercayaan dan bahkan ketegangan sosial.

Fenomena ini menjadi tanda penting bahwa masyarakat kita membutuhkan lebih dari sekadar akses informasi. Yang lebih mendasar dan mendesak adalah kebutuhan akan ilmu pengetahuan yang mencerahkan cara berpikir, membentuk sikap, serta mengarahkan tindakan kita sebagai warga negara yang bijaksana. Ilmu pengetahuan, dalam konteks ini, bukan sekadar kumpulan teori dan data, tetapi fondasi moral-intelektual yang menuntun kita bersikap waspada dan sabar dalam menyikapi apa pun yang terjadi di sekitar kita.

Membaca Realitas dengan Ilmu Pengetahuan

Dalam kehidupan sosial, tidak semua yang tampak di permukaan mencerminkan kebenaran sejati. Apa yang terdengar keras belum tentu benar, dan apa yang populer belum tentu adil. Di sinilah ilmu pengetahuan menjadi alat bantu paling efektif untuk membedakan antara realitas dan persepsi yang dibentuk secara sengaja.

Ilmu pengetahuan memungkinkan seseorang untuk tidak cepat mengambil kesimpulan. Ia melatih akal untuk memverifikasi, menimbang sebab-akibat, dan memahami konteks secara menyeluruh. Dalam dunia yang penuh opini dan persepsi, hanya mereka yang memiliki kedalaman berpikir ilmiah yang mampu berdiri tenang di tengah badai informasi.

Sikap waspada lahir dari kesadaran bahwa tidak semua yang disampaikan adalah kebenaran utuh. Ada framing, ada kepentingan, dan ada kemungkinan manipulasi. Waspada bukan berarti curiga tanpa dasar, tetapi membentuk semacam rem intelektual agar kita tidak mudah terbakar oleh emosi atau propaganda.


Kesabaran sebagai Buah dari Pemahaman Ilmiah

Kesabaran adalah kebajikan yang kerap dianggap pasif. Namun, dalam ilmu pengetahuan, kesabaran adalah proses aktif yang lahir dari kesadaran terhadap kompleksitas. Orang yang memahami bagaimana suatu kebijakan publik dirancang, bagaimana proses hukum berjalan, atau bagaimana dinamika geopolitik bekerja, akan memahami bahwa tidak ada perubahan besar yang bisa instan.

Kesabaran juga muncul dari pemahaman bahwa negara ini terdiri atas banyak elemen yang saling terkait—dari pemerintah pusat, daerah, institusi hukum, hingga masyarakat sipil. Semua memiliki peran, tantangan, dan keterbatasannya masing-masing. Maka, bila ada kebijakan yang tidak ideal, kita dapat menilai secara proporsional, bukan reaktif.

Ilmu pengetahuan membantu kita untuk sabar, bukan karena menyerah, tetapi karena memahami bahwa segala proses membutuhkan waktu, kerja sama, dan perbaikan berkelanjutan. Dalam banyak hal, ilmu pengetahuan mengajarkan bahwa reaksi cepat yang tidak didasari pemahaman justru memperkeruh keadaan, bukan menyelesaikan masalah.


Membentengi Diri di Tengah Gelombang Opini

Dalam beberapa bulan terakhir, kita menyaksikan bagaimana maraknya berita yang cenderung menyudutkan pemerintah. Sebagian menggunakan data yang tidak lengkap, sebagian lain menggiring opini tanpa memberikan solusi. Kondisi ini mengarah pada krisis kepercayaan yang tidak sehat.

Namun, perlu kita sadari bahwa demokrasi tidak mungkin hidup tanpa kritik, dan pemerintah bukanlah entitas yang sempurna. Yang menjadi persoalan adalah ketika kritik tersebut disampaikan tanpa kerangka berpikir ilmiah—tanpa landasan data yang sahih, tanpa melihat dari berbagai sisi, serta tanpa menawarkan alternatif yang membangun.

Kondisi ini seharusnya tidak direspons dengan kemarahan atau kepanikan, tetapi dengan kebijaksanaan yang lahir dari pengetahuan. Kita perlu bertanya, apakah informasi yang kita baca benar-benar valid? Apakah narasi yang kita dengar memiliki konteks? Dan lebih jauh lagi, apa motif yang tersembunyi di balik penyajian berita tersebut?

Menjadi masyarakat yang cerdas berarti tidak langsung percaya pada segala sesuatu yang viral. Kita harus membentuk kebiasaan untuk melakukan cross-check, membaca dari berbagai sumber, serta merenung sebelum menyimpulkan. Inilah wujud kewaspadaan yang lahir dari keilmuan, bukan dari rasa takut.


Pendidikan dan Pengetahuan sebagai Pilar Bangsa

Bangsa yang besar tidak hanya diukur dari kekayaan alam atau kekuatan militernya, tetapi juga dari daya berpikir rakyatnya. Bangsa yang berpikir adalah bangsa yang sulit diprovokasi, tidak mudah diadu domba, dan mampu menjaga stabilitasnya dalam badai perubahan.

Oleh karena itu, pendidikan dan ilmu pengetahuan harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Bukan hanya di bangku sekolah dan perguruan tinggi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu, dari kalangan apa pun, perlu memiliki akses dan kemauan untuk belajar, membaca, serta berdiskusi dengan pikiran terbuka.

Ilmu pengetahuan membentuk integritas. Ia mendorong kita untuk jujur dalam berpikir, adil dalam menilai, dan bijak dalam bertindak. Dalam konteks bernegara, masyarakat yang berilmu tidak akan mudah terpecah oleh isu sektarian, politik identitas, atau provokasi murahan.

Mereka tahu bahwa menjaga negara bukan hanya tugas pemerintah, melainkan juga tanggung jawab setiap warga. Dan untuk bisa menjaganya, kita butuh pengetahuan sebagai senjata utama.


Sikap Bijak: Antara Kritik dan Empati

Ilmu pengetahuan tidak membungkam kritik. Justru sebaliknya, ia memberikan dasar dan arah bagi kritik yang sehat. Dalam konteks pembangunan, kebijakan publik, dan layanan masyarakat, kritik yang konstruktif sangat dibutuhkan. Namun kritik yang dibangun di atas emosi semata justru menjerumuskan kita pada konflik horizontal yang tidak produktif.

Sikap ilmiah mengajarkan kita untuk tidak hanya bertanya “apa yang salah?”, tetapi juga “mengapa bisa salah?” dan “apa yang bisa diperbaiki?”. Dengan cara berpikir semacam ini, kita tidak terjebak dalam sikap menyalahkan tanpa arah. Kita justru menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

Lebih dari itu, ilmu pengetahuan juga menumbuhkan empati. Ketika kita memahami betapa rumitnya menjalankan roda pemerintahan untuk ratusan juta penduduk, kita akan lebih bisa menghargai setiap usaha perbaikan yang sedang dijalankan, meski belum sempurna. Sikap ini bukan membela secara buta, melainkan memahami dari sudut pandang yang lebih utuh dan adil.


Menjadi Pilar Kedamaian Sosial

Dalam kehidupan masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia, ilmu pengetahuan berfungsi sebagai penyatu. Ia melampaui sekat suku, agama, status ekonomi, dan ideologi politik. Orang-orang berilmu cenderung memiliki horizon berpikir yang luas dan hati yang lapang.

Ketika dunia diwarnai oleh perbedaan pendapat, konflik kepentingan, dan tekanan ekonomi, orang-orang yang berpengetahuan akan menjadi penyeimbang. Mereka tidak akan memperkeruh suasana, tetapi menawarkan ketenangan. Mereka tidak membawa kebingungan, tetapi justru menghadirkan kejelasan.

Inilah esensi dari ilmu pengetahuan yang sejati. Ia bukan sekadar alat untuk berdebat atau meraih posisi sosial, tetapi kekuatan spiritual yang mengarahkan kita pada jalan yang lurus—jalan akal sehat, keadilan, dan kasih sayang terhadap sesama.


Seruan untuk Bangsa yang Berpikir

Dalam perenungan saya sebagai seorang akademisi dan praktisi di berbagai bidang strategis, saya melihat bahwa masa depan bangsa ini sangat tergantung pada kualitas pengetahuan rakyatnya. Bukan hanya dalam bidang teknologi dan ekonomi, tetapi juga dalam membangun karakter dan kesadaran sosial.

Ketika kita dihadapkan pada banyak narasi yang menyudutkan pemerintah, jangan langsung percaya. Gunakan ilmu untuk menelaah. Gunakan akal untuk memahami. Gunakan hati untuk bersabar. Mari kita tumbuhkan budaya berpikir sebelum bertindak, meneliti sebelum menilai, dan berdiskusi sebelum beropini.

Ilmu pengetahuan tidak akan pernah gagal membimbing manusia menuju kebaikan—asal kita bersedia belajar dan rendah hati untuk memahami bahwa kebenaran tidak selalu terlihat di permukaan.

Mari kita bangun bangsa ini dengan akal sehat, dengan ketenangan, dan dengan sikap yang penuh tanggung jawab. Karena Indonesia bukan milik satu golongan, tetapi milik kita bersama—dan hanya bisa dijaga dengan ilmu, bukan dengan amarah.

Penulis:

Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, DBA., Ph.D.

Pakar Manajemen, Maritim dan Etika Kepemimpinan Nasional

(Penulis, Dosen, dan Praktisi Senior di Bidang Strategis)

 

******

 

Salam Redaksi,.

TerPopuler