![]() |
Ilustrasi Istimewa |
"KASIH ITU HIDUP: Menjadi Terang
dalam Dunia yang Semakin Gelap"
Oleh: Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono,
DBA., Ph.D.
Dalam setiap helaan napas kehidupan,
kita dihadapkan pada berbagai pilihan: untuk mencintai atau membenci, untuk
memberi atau mengambil, untuk menolong atau membiarkan. Dunia saat ini tidak
sedang kekurangan ilmu, teknologi, ataupun kekuasaan—namun dunia ini haus akan
satu hal yang paling mendasar: KASIH.
Kasih, dalam makna yang terdalam dan
terdalamnya, adalah inti dari ajaran Tuhan. Yesus Kristus berkata, “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Perintah ini bukan
sekadar anjuran, melainkan dasar dari seluruh hukum moral dan spiritual. Namun,
di tengah hiruk pikuk zaman yang dipenuhi egoisme, materialisme, dan
polarisasi, kasih sering kali menjadi sesuatu yang asing, bahkan dianggap
kelemahan. Padahal, kasih adalah kekuatan yang menyembuhkan dunia.
Kasih
Adalah Pilihan, Bukan Sekadar Perasaan
Sering kali kita keliru memahami kasih
hanya sebagai perasaan sentimental. Namun kasih sejati jauh melampaui itu.
Kasih adalah tindakan aktif yang lahir dari keputusan sadar untuk
menghadirkan kebaikan, keadilan, dan pengampunan kepada sesama, tanpa syarat
dan tanpa pamrih. Kasih tidak tergantung pada apakah orang lain pantas
menerimanya atau tidak. Kasih sejati bersumber dari hati yang telah disentuh
oleh kasih Tuhan sendiri.
Dalam Yohanes 13:34, Yesus berkata: “Aku
memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama
seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”
Kasih yang dimaksud bukanlah kasih biasa, melainkan kasih yang rela berkorban,
kasih yang tetap memberi meski tak dihargai, kasih yang tetap hadir meski
dilukai.
Mengapa
Dunia Membutuhkan Kasih?
Dunia yang kita tinggali hari ini
sedang terluka. Di layar televisi, media sosial, bahkan dalam percakapan
sehari-hari, kita melihat luka-luka yang menganga: konflik, kekerasan,
kemiskinan, ketidakadilan, dan keputusasaan. Dalam dunia yang demikian, kasih
bukan hanya penting—kasih adalah obat, jembatan, dan jawaban.
Ketika kita memilih untuk mengasihi,
kita tidak hanya sedang menolong orang lain, tetapi kita sedang menyelamatkan
kemanusiaan itu sendiri. Kasih memulihkan nilai-nilai yang telah luntur. Kasih
memerdekakan mereka yang tertindas. Kasih memanusiakan kembali manusia.
Kasih adalah bahasa universal yang
dapat dipahami oleh siapa pun, di mana pun. Bahkan di tengah perbedaan
keyakinan, latar belakang budaya, dan bahasa, kasih tetap dapat menjembatani
perbedaan dan menyatukan hati.
Berbagi
Kasih dalam Hal-Hal Sederhana
Berbagi kasih tidak selalu harus dalam
bentuk besar atau spektakuler. Kasih sejati justru paling indah ketika
diwujudkan dalam tindakan-tindakan kecil yang tulus:
-
Tersenyum kepada orang asing.
-
Mendengarkan dengan empati.
-
Mengampuni orang yang menyakiti.
-
Membantu tanpa diminta.
-
Berdoa diam-diam untuk mereka yang
membutuhkan.
Saya teringat satu kisah dari
kehidupan pelaut yang pernah saya bimbing. Dalam kapal yang sempit, penuh
tekanan dan jauh dari keluarga, kasih menjadi hal langka. Namun suatu hari,
seorang kadet muda menolong rekannya yang sakit, merawatnya tanpa pamrih, bahkan
saat shift malam sekalipun. Tindakan kecil itu menjadi terang dalam gelap. Satu
tindakan kasih menyentuh hati seluruh kru. Sejak saat itu, suasana di kapal
berubah. Kasih menular. Kasih menyalakan harapan.
Kasih
yang Tangguh: Kasih dalam Pengorbanan
Kasih sejati tidak mudah. Justru
karena sulit, kasih itu mulia. Mengasihi ketika segalanya baik-baik saja itu
mudah. Tetapi mengasihi ketika kita disakiti, difitnah, atau dikhianati—itulah
ujian sesungguhnya. Namun kasih yang diajarkan Tuhan bukanlah kasih yang lemah.
Itu adalah kasih yang tangguh, penuh kuasa, dan membawa perubahan.
Kristus di salib adalah simbol
tertinggi kasih seperti itu. Dia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ia
berkata: “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat” (Lukas 23:34). Inilah kasih yang menyelamatkan dunia.
Dalam konteks kehidupan kita
sehari-hari—baik sebagai pemimpin, guru, pelaut, pengusaha, pejabat, atau
bahkan ibu rumah tangga—kasih itu harus menjadi landasan dari segala hal. Tanpa
kasih, kepemimpinan menjadi tirani. Tanpa kasih, pendidikan menjadi kering.
Tanpa kasih, pelayanan menjadi kosong. Tanpa kasih, hidup menjadi sia-sia.
Kasih
Adalah Warisan Terbesar
Dalam surat 1 Korintus 13, Rasul
Paulus menulis dengan sangat puitis, “Sekalipun aku dapat berkata-kata
dengan semua bahasa manusia dan malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang.” Ia menutup dengan kalimat
indah: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan
kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Kasih adalah warisan terbesar yang
bisa kita tinggalkan. Bukan harta, bukan gelar, bukan prestasi, melainkan jejak
kasih—itulah yang akan dikenang dan menginspirasi generasi setelah kita.
Bayangkan sebuah bangsa di mana kasih
menjadi budaya: pejabat yang memimpin dengan hati nurani, guru yang mengajar
dengan cinta, anak muda yang berbagi waktu dan tenaganya untuk sesama,
pengusaha yang memberi pekerjaan dengan keadilan, gereja dan rumah ibadah yang
menjadi pusat empati dan pengharapan.
Kasih
yang Berakar dalam Tuhan
Namun perlu ditegaskan: kasih sejati
tidak dapat kita ciptakan sendiri. Kasih sejati hanya lahir dari hati yang
telah diubahkan oleh Tuhan. Kita bisa mencintai karena Tuhan lebih dahulu
mencintai kita (1 Yohanes 4:19). Oleh sebab itu, semakin kita dekat dengan
Tuhan, semakin mudah kita mengasihi sesama. Semakin kita mengenal kasih Allah,
semakin hati kita meluap untuk berbagi kasih itu kepada dunia.
Kasih bukan hanya soal hubungan
horizontal antar manusia, tetapi juga hubungan vertikal dengan Sang Pencipta.
Ketika kasih Tuhan memenuhi hati kita, kita akan punya mata untuk melihat
penderitaan orang lain, dan tangan untuk bertindak nyata.
Menghidupi
Kasih dalam Dunia Modern
Dalam era digital dan modern ini,
kasih tetap relevan—bahkan sangat mendesak. Dunia maya telah menghubungkan kita
secara teknologi, namun justru membuat kita jauh secara empati. Banyak orang
hidup dalam kesendirian meski ribuan "teman" di media sosial. Banyak
orang mengalami depresi, kehilangan arah, bahkan putus harapan.
Saat inilah kita semua dipanggil
menjadi terang. Menjadi pembawa kasih di dunia yang gelap. Menjadi tangan Tuhan
yang menyentuh mereka yang terluka. Menjadi suara Tuhan yang menguatkan mereka
yang letih. Dan menjadi wajah Tuhan yang memantulkan cahaya kasih di tengah
dunia yang semakin dingin dan gelap.
Mari
Terus Berbagi Kasih
Mari kita renungkan: Di dunia ini, tak
seorang pun terlalu miskin untuk tidak bisa berbagi kasih. Kasih tidak
tergantung pada jabatan, kekayaan, atau pendidikan. Kasih hanya butuh satu hal:
hati yang terbuka.
Saya, Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono,
mengajak kita semua—di mana pun kita berada, apa pun peran kita—untuk menjadi
duta kasih. Jadikan kasih sebagai gaya hidup. Sebab ketika kasih menjadi
budaya, maka kehidupan akan berubah. Masyarakat akan menjadi lebih damai,
bangsa akan menjadi lebih kuat, dan dunia akan menjadi lebih indah.
Jangan tunggu esok untuk mengasihi.
Mulailah hari ini, saat ini juga. Karena satu tindakan kasih, sekecil apa pun,
dapat menjadi percikan yang menyalakan api harapan bagi dunia.
Dan jika Anda bertanya, “Di mana Tuhan
hari ini?” Maka jawaban saya adalah: Tuhan hadir melalui kasih yang kita
bagikan.
Penulis:
Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, DBA., Ph.D.
Pakar Manajemen Maritim & Kepemimpinan
Dosen, penulis, dan pelayan Tuhan yang berdedikasi untuk
menanamkan nilai kasih dalam dunia pendidikan, bisnis, dan pelayaran.
*******
Salam Redaksi,.