"Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono; KASIH ITU HIDUP: Menjadi Terang dalam Dunia yang Semakin Gelap"

Nature

"Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono; KASIH ITU HIDUP: Menjadi Terang dalam Dunia yang Semakin Gelap"

Senin, 16 Juni 2025, Juni 16, 2025

Ilustrasi Istimewa

 


"KASIH ITU HIDUP: Menjadi Terang dalam Dunia yang Semakin Gelap"

Oleh: Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, DBA., Ph.D.

 

Dalam setiap helaan napas kehidupan, kita dihadapkan pada berbagai pilihan: untuk mencintai atau membenci, untuk memberi atau mengambil, untuk menolong atau membiarkan. Dunia saat ini tidak sedang kekurangan ilmu, teknologi, ataupun kekuasaan—namun dunia ini haus akan satu hal yang paling mendasar: KASIH.

Kasih, dalam makna yang terdalam dan terdalamnya, adalah inti dari ajaran Tuhan. Yesus Kristus berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Perintah ini bukan sekadar anjuran, melainkan dasar dari seluruh hukum moral dan spiritual. Namun, di tengah hiruk pikuk zaman yang dipenuhi egoisme, materialisme, dan polarisasi, kasih sering kali menjadi sesuatu yang asing, bahkan dianggap kelemahan. Padahal, kasih adalah kekuatan yang menyembuhkan dunia.


Kasih Adalah Pilihan, Bukan Sekadar Perasaan

Sering kali kita keliru memahami kasih hanya sebagai perasaan sentimental. Namun kasih sejati jauh melampaui itu. Kasih adalah tindakan aktif yang lahir dari keputusan sadar untuk menghadirkan kebaikan, keadilan, dan pengampunan kepada sesama, tanpa syarat dan tanpa pamrih. Kasih tidak tergantung pada apakah orang lain pantas menerimanya atau tidak. Kasih sejati bersumber dari hati yang telah disentuh oleh kasih Tuhan sendiri.

Dalam Yohanes 13:34, Yesus berkata: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Kasih yang dimaksud bukanlah kasih biasa, melainkan kasih yang rela berkorban, kasih yang tetap memberi meski tak dihargai, kasih yang tetap hadir meski dilukai.


Mengapa Dunia Membutuhkan Kasih?

Dunia yang kita tinggali hari ini sedang terluka. Di layar televisi, media sosial, bahkan dalam percakapan sehari-hari, kita melihat luka-luka yang menganga: konflik, kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan keputusasaan. Dalam dunia yang demikian, kasih bukan hanya penting—kasih adalah obat, jembatan, dan jawaban.

Ketika kita memilih untuk mengasihi, kita tidak hanya sedang menolong orang lain, tetapi kita sedang menyelamatkan kemanusiaan itu sendiri. Kasih memulihkan nilai-nilai yang telah luntur. Kasih memerdekakan mereka yang tertindas. Kasih memanusiakan kembali manusia.

Kasih adalah bahasa universal yang dapat dipahami oleh siapa pun, di mana pun. Bahkan di tengah perbedaan keyakinan, latar belakang budaya, dan bahasa, kasih tetap dapat menjembatani perbedaan dan menyatukan hati.


Berbagi Kasih dalam Hal-Hal Sederhana

Berbagi kasih tidak selalu harus dalam bentuk besar atau spektakuler. Kasih sejati justru paling indah ketika diwujudkan dalam tindakan-tindakan kecil yang tulus:

-       Tersenyum kepada orang asing.

-       Mendengarkan dengan empati.

-       Mengampuni orang yang menyakiti.

-       Membantu tanpa diminta.

-       Berdoa diam-diam untuk mereka yang membutuhkan.

Saya teringat satu kisah dari kehidupan pelaut yang pernah saya bimbing. Dalam kapal yang sempit, penuh tekanan dan jauh dari keluarga, kasih menjadi hal langka. Namun suatu hari, seorang kadet muda menolong rekannya yang sakit, merawatnya tanpa pamrih, bahkan saat shift malam sekalipun. Tindakan kecil itu menjadi terang dalam gelap. Satu tindakan kasih menyentuh hati seluruh kru. Sejak saat itu, suasana di kapal berubah. Kasih menular. Kasih menyalakan harapan.


Kasih yang Tangguh: Kasih dalam Pengorbanan

Kasih sejati tidak mudah. Justru karena sulit, kasih itu mulia. Mengasihi ketika segalanya baik-baik saja itu mudah. Tetapi mengasihi ketika kita disakiti, difitnah, atau dikhianati—itulah ujian sesungguhnya. Namun kasih yang diajarkan Tuhan bukanlah kasih yang lemah. Itu adalah kasih yang tangguh, penuh kuasa, dan membawa perubahan.

Kristus di salib adalah simbol tertinggi kasih seperti itu. Dia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ia berkata: “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Inilah kasih yang menyelamatkan dunia.

Dalam konteks kehidupan kita sehari-hari—baik sebagai pemimpin, guru, pelaut, pengusaha, pejabat, atau bahkan ibu rumah tangga—kasih itu harus menjadi landasan dari segala hal. Tanpa kasih, kepemimpinan menjadi tirani. Tanpa kasih, pendidikan menjadi kering. Tanpa kasih, pelayanan menjadi kosong. Tanpa kasih, hidup menjadi sia-sia.


Kasih Adalah Warisan Terbesar

Dalam surat 1 Korintus 13, Rasul Paulus menulis dengan sangat puitis, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang.” Ia menutup dengan kalimat indah: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”

Kasih adalah warisan terbesar yang bisa kita tinggalkan. Bukan harta, bukan gelar, bukan prestasi, melainkan jejak kasih—itulah yang akan dikenang dan menginspirasi generasi setelah kita.

Bayangkan sebuah bangsa di mana kasih menjadi budaya: pejabat yang memimpin dengan hati nurani, guru yang mengajar dengan cinta, anak muda yang berbagi waktu dan tenaganya untuk sesama, pengusaha yang memberi pekerjaan dengan keadilan, gereja dan rumah ibadah yang menjadi pusat empati dan pengharapan.


Kasih yang Berakar dalam Tuhan

Namun perlu ditegaskan: kasih sejati tidak dapat kita ciptakan sendiri. Kasih sejati hanya lahir dari hati yang telah diubahkan oleh Tuhan. Kita bisa mencintai karena Tuhan lebih dahulu mencintai kita (1 Yohanes 4:19). Oleh sebab itu, semakin kita dekat dengan Tuhan, semakin mudah kita mengasihi sesama. Semakin kita mengenal kasih Allah, semakin hati kita meluap untuk berbagi kasih itu kepada dunia.

Kasih bukan hanya soal hubungan horizontal antar manusia, tetapi juga hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Ketika kasih Tuhan memenuhi hati kita, kita akan punya mata untuk melihat penderitaan orang lain, dan tangan untuk bertindak nyata.


Menghidupi Kasih dalam Dunia Modern

Dalam era digital dan modern ini, kasih tetap relevan—bahkan sangat mendesak. Dunia maya telah menghubungkan kita secara teknologi, namun justru membuat kita jauh secara empati. Banyak orang hidup dalam kesendirian meski ribuan "teman" di media sosial. Banyak orang mengalami depresi, kehilangan arah, bahkan putus harapan.

Saat inilah kita semua dipanggil menjadi terang. Menjadi pembawa kasih di dunia yang gelap. Menjadi tangan Tuhan yang menyentuh mereka yang terluka. Menjadi suara Tuhan yang menguatkan mereka yang letih. Dan menjadi wajah Tuhan yang memantulkan cahaya kasih di tengah dunia yang semakin dingin dan gelap.


Mari Terus Berbagi Kasih

Mari kita renungkan: Di dunia ini, tak seorang pun terlalu miskin untuk tidak bisa berbagi kasih. Kasih tidak tergantung pada jabatan, kekayaan, atau pendidikan. Kasih hanya butuh satu hal: hati yang terbuka.

Saya, Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, mengajak kita semua—di mana pun kita berada, apa pun peran kita—untuk menjadi duta kasih. Jadikan kasih sebagai gaya hidup. Sebab ketika kasih menjadi budaya, maka kehidupan akan berubah. Masyarakat akan menjadi lebih damai, bangsa akan menjadi lebih kuat, dan dunia akan menjadi lebih indah.

Jangan tunggu esok untuk mengasihi. Mulailah hari ini, saat ini juga. Karena satu tindakan kasih, sekecil apa pun, dapat menjadi percikan yang menyalakan api harapan bagi dunia.

Dan jika Anda bertanya, “Di mana Tuhan hari ini?” Maka jawaban saya adalah: Tuhan hadir melalui kasih yang kita bagikan.

 

Penulis:

Prof. Dr. Capt. Eddy Sumartono, DBA., Ph.D.

Pakar Manajemen Maritim & Kepemimpinan

Dosen, penulis, dan pelayan Tuhan yang berdedikasi untuk menanamkan nilai kasih dalam dunia pendidikan, bisnis, dan pelayaran.

 

*******

 

Salam Redaksi,.

TerPopuler